Total Pageviews

Sunday, April 3, 2011

2 Musim

2 musim berlalu, berlalu begitu saja,
hujan-ku, kemarau-ku,
tak lagi saling menyapa, tak lagi saling menyela,
tak lagi saling merindu, tak lagi saling mencinta,
rumah itu kini sepi, sendiri,
melewati 2 musim tanpa arti, tanpa diri,
tanpa jiwa, merana, hampa,
angin bergerak, awan berarak,
air jatuh mengaduh, gelap datang menggantang,
sunyi, sepi, nyanyian malam tanpa bintang,
2 musim berlalu, lenyap dalam sekejap.

Aurea Anda, @Home, 3 April 2011, 11.30pm

Friday, April 1, 2011

Perempuan dan Peranan

Tulisan ini saya dedikasikan untuk para perempuan di seluruh penjuru dunia, dan semua yang lahir dari rahim ibu,

Malam beranjak larut, saat aku tersadar cahaya langit semakin surut. Bisik angin terdengar seperti teriakan yang memabukkan dan mencekam. Kulihat jam weker di meja kerjaku, jarum pendeknya mendekati angka dua, dan jam panjangnya nyaris di angka dua belas. Jakarta serasa kampung halaman penghujung malam ini. Angin berkejaran layaknya sepasang kekasih yang sedang di mabuk kasmaran. Saling peluk, saling serang, saling sikut, saling tendang, saling lumat, saling ikat, saling teriak riuh, hingga gaduh. Tampaknya tak hanya dunia kucing yang sedang musim kawin, kemungkinan ini musim yang sama untuk angin.

Obrolan angin sampai di telingaku, berisik asik di pengawal bulan ini. April, bulan kelahiranku, bulan kelahiran Kartini sang perempuan sejati, pahlawan kaumku, perempuan. Aku teringat ibu, wanita yang melahirkanku, pahlawan sejatiku.

Mendekati jam dua pagi waktu Bandung 27 tahun yang lalu, adalah saat – saat mulas melanda perut ibu. Kata ibu, aku lahir menjelang pagi, subuh, saat matahari hendak merekah memberi berkah. Tentunya, Tuhan mengirimkanku ke dunia untuk memberi arti layaknya mentari, cahaya penerang dunia. Karenanya kakek memberiku nama Nur, yang berarti cahaya. Meski kata ibu aku harus berkali – kali berganti nama, karena demam selalu melanda tubuh kecilku, namun aku sama sekali tidak ingat, kapan terakhir kali aku merasakan nikmatnya ritual bubur merah bubur putih waktu itu.

Tidak banyak juga yang aku ingat tentang ibu di usiaku saat itu, karena sosoknya lebih sering menghilang dari pandangan. Beberapa yang terekam baik justru yang tidak baik, kebiasaannya membangunkan tidurku hingga aku terjatuh di tangga rumah suatu pagi, satu suapan kecil saat jam makan yang tak pernah habis tergilas gigi, pukulan kecil yang menggurat nadi, omelan yang tak berpangkal, dan pekerjaan rumah yang selalu menunggu. Meski begitu, aku selalu merindukan ibu, karna masakannya yang selalu mengingatkanku untuk pulang. Hanya dalam racikan tanganya aku bisa merasakan tulus kasih sayang, karena meski pukulan – pukulan kecilnya menyisakan luka, aku selalu rindu untuk pulang, mengecap lahap masakan, dan tidur di hangat pelukan.

Dari racikan tangannya, aku tumbuh jadi perempuan dewasa, luar biasa, sehat, dan juga kuat. Bertubi – tubi duri menyayat hati, bergurat – gurat duka menggores luka, tapi aku bertahan dan berjuang, mengumpulkan serpih – serpih harapan dan keberanian, aku bangkit dari sakit, merangkak, tertatih, berdiri, terjatuh dan berusaha bangkit lagi, berdiri menopang tubuh ini dengan kedua kakiku sendiri. Berdiri dengan tegap, dengan dagu terangkat dan terhormat. Bisikku pada diriku, “Inilah aku, terimalah aku, sambutlah tanganku, karena keputusanku sudah bulat, aku menjad pribadi baru, yang lebih kuat, yang lebih cemerlang, aku, Aurea Nur Afni Handayani.” Kamu pun bisa mengucapkan kalimat ini saat kau merasa lemah dan takut, cukup ganti dengan namamu. Aku biasa mengucapkannya dalam hati sambil bercermin dengan senyuman terindah untuk diriku sendiri.

Dari rahim ibu, lahirlah aku, begitu pula kamu. Perempuan luar biasa, ibu negara, laki – laki kuat, pemimpin dunia, dokter, pengacara, petani, nelayan, jurnalis, astronot, professor, ulama, pendeta, ibu rumah tangga, semua manusia dengan profesinya di seluruh dunia, lahir dari rahim ibu. Ibu, adalah ratu kehidupan, wanita mulia, makhluk Tuhan yang sempurna, yang dimitoskan sebagai ratu kesuburan alam semesta, ibu bumi, penentu awal kehidupan manusia.

Dari rahim perempuan, terlahirlah orang – orang hebat, patutlah kau berjalan tegap dengan dagu terangkat. Jangan menunduk malu, jangan pula ragu, hapus air matamu. Bahkan Tuhan memberikan tempat termulia bagi wanita,'Surga', rumah idaman semua manusia itu, ada ditelapak kaki mu. Tersenyumlah, berbahagialah dengan semua peran dipundakmu, dengan pilihan – pilihan hidupmu, entah sebagai istri pendamping suami, sebagai ibu pendidik dan pembina generasi masa kini, pengatur ekonomi keluarga, Negara atau bahkan dunia, wanita karir dan pencari nafkah tambahan keluarga, sebagai anggota masyarakat, organisasi sosial, atau lembaga kemasyarakatan yang ada, atau apa pun itu, pastikan, kau perempuan sudah mengambil peranan.

Berbanggalah terlahir sebagai perempuan, karena secara etimologis terurai dengan sangat jelas asal katamu ‘Empu’, yang berarti orang yang mahir atau berkuasa, yang bisa juga berarti kepala, atau hulu, atau yang paling besar, yang berkaitan pula dengan ampu sokong, yang berarti memerintah atau penyangga, dan mengampu juga berarti menyangga agar tidak jatuh, menyokong agar tidak runtuh. Kata perempuan berakar erat dengan puan, sapaan hormat untuk perempuan pasangan tuan.

Di belakang lelaki hebat, terdapat perempuan hebat. Dimana pun posisimu, di depankah untuk memimpin, di samping untuk seiring, atau pun di belakang untuk menopang, atau bahkan di posisi ketiganya sekalipun, pastikan itu adalah pilihan hidupmu, sejatinya dirimu. Maka berbahagialah meski terjatuh, karena itu berarti kemuliaan Tuhan akan datang, menjadikanmu lebih kuat dan matang memandang masa depan. Mari berbangga dan berkarya sepenuh hati, kelak tercapai kebahagiaan diri atas penghargaan dan kehormatan yang diberi. Berbahagialah, karena Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan.

Setiap perempuan diciptakan dengan peranan, berharga, berarti, hingga maut menjemput hari. Sudahkah kau tentukan pilihan..?? Selamat berperan.. ;)

Salam..
Aurea Anda.